Oleh : Muhammad Rais
Pemerhati Pendidikan & Simpatisan Partai Keadilan Sejahtera DPD Bone
Perubahan status Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum Pendidikan (BHP) semakin mengkhawatirkan dunia pendidikan di Indonesia. Hampir seluruh pergerakan mahasiswa intra maupun ekstra kampus kalau tidak mau dikatakan semua- telah turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi sebagai upaya penolakan mereka terhadap UU BHP yang telah disahkan menjadi UU oleh DPR pada tanggal 17 Desember 2008 silam. Tentu ini mengundang pertanyaan besar bagi kita semua mengapa mahasiswa menolak perubahan status Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum Pendidikan?
Kampus Komersil Tidak Dapat Dihindari
Dari beberapa diskusi yang telah dilakukan baik dengan pihak Perguruan Tinggi maupun anggota DPR-RI Komisi X, mereka dengan lantang mengatakan bahwa Perguruan Tinggi yang telah berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) bukanlah bentuk komersialisasi apalagi privatisasi kampus. Tentu pernyataan yang demikian hanyalah omong kosong belaka yang sangat berkebalikan dengan realitas yang ada. Pada kenyataannya justru bentuk-bentuk komersialisasi ini tidak dapat dihindari. Realitas ini dengan mudah akan kita jumpai di tujuh perguruan tinggi yakni UI, UGM, ITB, IPB, UNAIR, USU, dan UPI yang menjadi kampus percontohan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PTBHMN).
Ciri khas dari suatu PTBHMN adalah pengumpulan dan pengelolaan dana dilakukan secara mandiri oleh institusi pendidikan tersebut. BHP telah menegaskan pergeseran posisi pemerintah dalam bidang pendidikan dari penanggungjawab menjadi hanya sebatas fasilitator saja. Seperti yang diatur dalam UU BHP dimana swasta dalam hal ini masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk berperan menyelenggarakan pendidikan. Bukankah praktik semacam ini adalah sama dengan yang terjadi di negara-negara liberalis dimana pendidikan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya. Lalu di mana letak tanggung jawab pemerintah yang mengatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan yang layak?
Pergeseran peran dan fungsi pemerintah dalam pembiayaan pendidikan, memberikan pekerjaan tersendiri buat pimpinan perguruan tinggi untuk menempuh beberapa cara demi mendapatkan dana bagi kelangsungan institusi yang dipimpinnya. Maka jangan heran ketika aset-aset perguruan tinggi kemudian dijadikan lahan bisnis untuk mencari uang. Misalnya saja di IPB, mereka mencari tambahan keuangan dengan mendirikan Bogor Botany Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampusnya. Sebenarnya ini telah melanggar Tri Darma Perguruan tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai pusat bisnis.
Permasalahannya kemudian jika institusi pendidikan tidak mempunyai aset atau sedang buntu tidak memiliki cara untuk memperoleh dana maka pasti biaya pendidikanlah yang akan dinaikkan. Peningkatan biaya pendidikan ini dapat kita jumpai pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi PTBHMN. Sebagai contoh misalnya yang terjadi di Universitas Indonesia pada tahun 1999, Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan (DPKP) yang pada awalnya hanya sebesar 500 ribu rupiah kemudian meningkat tiga kali lipat menjadi 1,5 juta rupiah. Kemudian tahun 2003 Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) mengharuskan mahasiswa membayar uang masuk sebesar 50-60 juta rupiah dan belum termasuk uang pangkalnya (admission fee) yang berkisar 5-25 juta rupiah.
Kenyataan ini akan menjadikan kampus sebagai tempat yang eksklusif dikarenakan tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses dan mengenyam pendidikan. Sudah pasti orang miskin akan tersingkir dengan sendirinya. Bukankah bagi mereka untuk makan dan mendapatkan tempat tinggal yang layak saja susah lalu bagaimana bisa mereka menyandang gelar mahasiswa? Lalu dengan cara apa pemerintah akan mewujudkan pemerataan pendidikan yang selalu didengung-dengungkan itu? Wajarlah ketika timbul dan berkembang sinisme orang miskin dilarang sekolah.
Dengan melihat kenyataan ini, lalu masihkah kita akan mengatakan bahwa BHP bukanlah bentuk komersialisasi dan privatisasi kampus?
Pendidikan Tinggi Indonesia Tidak Lagi Independen
Telah menjadi rahasia umum, jika pemerintah mempunyai proyek baru termasuk dalam hal ini pendidikan maka dananya pasti dari berutang. Sebagai akibatnya isi proyeknya pun tergantung dari kompromi kedua belah pihak. Tentu saja si peminjam harus banyak mengalah dan cenderung menyenangkan si pemberi utang agar dana yang diinginkan dapat segera dicairkan. Kondisi seperti inilah yang dialami Indonesia sekarang. Pemerintah rela dengan ikhlas menerima segala persyaratan-persyaratan dari negara donor walaupun sangat merugikan kita demi sesuap utang.
Bukti dari ketidakindependenan kita dalam dunia pendidikan diawali dari proyek Higher Education For Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi Indonesia Managing Higher Education For Relevance and Efficiency (IMHERE) yang pendanaannya dibiayai melalui pinjaman dari World Bank dan Asian Development Bank. Proyek ini terdiri atas reformasi sistem pendidikan tinggi dan hibah untuk meningkatkan kualitas akademik dan kinerja perguruan tinggi. Reformasi kebijakan perguruan tinggi kemudian memunculkan lima pilar yakni kualitas, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Konsep ini bukan murni pemikiran bangsa Indonesia melainkan terjemahan dari kebijakan global yang dikeluarkan UNESCO tahun 1998 di Paris.
Paradigma baru pendidikan kita telah menjadikan dunia pendidikan sebagai sebuah komoditas. Tidak heran jika suatu mata kuliah bahkan fakultas diadakan atau tidak semua tergantung permintaan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa yang akan mengarahkan sistem pendidikan kita adalah pasar. Karena pasar di Indonesia saat ini dikuasai Asing sebagai pemilik modal terbesar, maka pendidikan Indonesia pun akan diarahkan sesuai keinginan dan kepentingan Asing. Sehingga wajar ketika institusi pendidikan kita nantinya akan digiring untuk menyelesaikan masalah internasional dan mengabaikan persoalan bangsanya sendiri. Sebagai contoh, isu BioEnergi diangkat di Indonesia sehingga keluarlah kebijakan konversi lahan untuk menanam pohon jarak.
Sementara konversi lahan untuk bahan pangan yang sangat dibutuhkan seperti beras dan kedelai justru ditiadakan. Akibatnya, stok beras dan kedelai dalam negeri berkurang dan impor pun menjadi pilihan utama. Padahal BioEnergi belum terlalu kita butuhkan melainkan negara luar seperti AS dimana mereka hanya mampu memenuhi 1/3 dari kebutuhannya sementara 2/3-nya harus mereka impor. Lalu pertanyaannya sekarang, mengapa kita fokus mempersiapkan generasi-generasi kita untuk menyelesaikan persoalan negara Asing dan membiarkan persoalan dalam negeri tetap carut marut? Jawabannya tidak lain karena institusi pendidikan kita semakin tidak independen.
Pendidikan Tanggung Jawab Pemerintah Sepenuhnya
Konroversi lahirnya UU BHP Nomor 9 Tahun 2009 sebagai bentuk perluasan dari status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang dianggap cenderung sangat komersial. Pada Tahun 2010, UU BHP dihapus dan dibatalkan oleh mahkamah konstitusi. Sebagai gantinya, dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum. Perubahan status perguruan tinggi menjadi PTN-BH tidak mengubah komersialisasi didalamnya. Sangat jelas disebutkan di dalam pasal 7 ayat 2 bahwa tanggung jawab menteri selaku penyelenggara pendidikan hanya mencakup pengaturan, perencanaan, pengawasan, evaluasi, pembinaan dan kordinasi tanpa menyebut tanggaung jawab pembiayaan.
Padahal seyogyanya pemerintah adalah penentu kebijakan pendidikan. Begitupula segala sarana pendukung proses belajar mengajar merupakan beban pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab penuh atas penyelenggaraan pendidikan termasuk dalam hal pembiayaan. Bukan malah sebaliknya justru menyerahkan pengelolaan pendidikan kepada publik apalagi pihak Asing. Alasan yang sering diungkapkan pemerintah adalah bahwa pemerintah tidak memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk membiayai pendidikan secara menyeluruh. Olehnya itu, pemerintah meminta kepada masyarakat untuk ambil bagian membantu pemerintah. Tentu alasan ini sangat tidak sesuai dengan realitas mengingat Indonesia adalah negara kaya.
Indonesia memiliki sumber daya alam yang begitu melimpah. Sebutlah misalnya kekayaan kita dalam hal pertambangan seperti tembaga, perak, dan emas yang ada di Papua. Kemudian minyak bumi yang ada di Blok Cepu. Lalu gas alam yang begitu besar di ladang Arun Nangroh Aceh Darussalam. Bahkan menurut Triono (2006) bahwa sejak tahun 1999 Indonesia sudah dikenal sebagai penghasil timah ke-2 terbesar di dunia, pengekspor batubara thermal terbesar ke-3 dunia, penghasil tembaga ke-3 terbesar di dunia, penghasil emas terbesar ke-5 dan nikel terbesar ke-7 dunia. Itu Belum ditambah dengan kekayaan yang lain seperti hutan dan potensi laut yang juga sangat besar. Lalu mengapa pemerintah masih mengatakan kalau kita kekurangan dana? Bukankah kekayaan itu sudah lebih dari cukup untuk pembiayaan pendidikan kita termasuk pengadaan sarana dan fasilitas memadai seperti gedung-gedung sekolah, perpustakaan, peralatan praktikum, dan kebutuhan yang lainnya. Dengan demikian, sangat tidak rasional jika komersialisasi dan liberalisasi pendidikan masih terjadi di negeri ini.
› Sosial
Kapitalisasi dan Liberalisasi Pendidikan
Di Indonesia
(Refleksi Perayaan Hari Pendidikan Nasional)
Kapitalisasi dan Liberalisasi Pendidikan Di Indonesia (Refleksi Perayaan Hari Pendidikan Nasional)
Media Timur
Friday, May 4, 2018, May 04, 2018 WITA
Last Updated
2018-05-04T12:54:06Z
Komentar
Berita Terbaru














